Senin, 05 Mei 2014

STATUS ANAK PERKAWINAN CAMPURAN ANTARA WNA DAN WNI

Perkawinan campuran sekarang ini sudah merambak kepada seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya kalangan selebritis atau kalangan tingkat atas saja, namun tenaga kerja Indonesia pun juga banyak yang melakukan perkawinan campuran dengan tenaga kerja negara lain. Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak. Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan UU Kewarganegaraan yang baru. Yaitu UU No.12 Tahun 2006. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar UU baru yang memperbolehkan dua kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran. Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing. 1.STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UU NO.62 TAHUN 1958 Status kewarganegaraan anak dalam perkawinan campuran menurut UU No.62 Tahun 1958 mengatur asas kewarganegaraan tunggal. Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana status kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 : “Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anaknya karena ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarganegaraan”. Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya: 1) Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI) Berdasarkan Pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal (faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan. 2) Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI) Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan Pasal 7 UU No.62 Tahun 1958, apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa. Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor. Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun. Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga. 2.PERMASALAHAN KEWARGANEGARAAN Permasalahan kewarganegaraan yang muncul adalah adanya kemungkinan seseorang mempunyai kewarganegaraan ganda (bipatride), tanpa kewarganegaraan (apatride). 1. Kewarganegaraan Ganda (Bipatride) Bipatride terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya menganut asas ius sangunis lahir di negara lain yang menganut asas ius soli, maka kedua negara tersebut menganggap bahwa anak tersebut warga negaranya. Untuk mencegah bipatride, maka Undang-Undang No.62 Tahun 1958 Pasal 7 dinyatakan bahwa seorang perempuan asing yang kawin dengan laki-laki Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan melakukan pernyataan dengan syarat bahwa dia harus meninggalkan kewarganegaraan asalnya. Berdasarkan Undang-Undang, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi. Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur. Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. 2. Tanpa Kewarganegaraan (Apatride) Apatride terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya menganut asas ius soli lahir di negara yang menganut ius sungunis. Untuk mencegah apatride, Undang-Undang Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958 Pasal 1 huruf f menyatakan bahwa anak yang lahir di wilayah Indonesia, selama orang tuanya tidak diketahui adalah Warga Negara Indonesia. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang. Dalam Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2006, dijelaskan bahwa: “Warga Negara Indonesia” adalah : a) Setiap orang yang berdasarkan peraturan perUndang-Undangan dan atau berdasarkan perjanjian Pemerintah RI dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia. b) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia. c) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing. d) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia. e) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut. f) Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia. g) Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia. h) Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagaianaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun saat belum kawin. i) Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya. j) Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui. k) Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya. l) Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan. m) Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraan dari ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Sedangkan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan mengenai orang asing, yaitu: “Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing” 3. CONTOH KASUS MENGENAI STATUS ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN Ketika anak akhirnya diakui oleh Negara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin memberikan surat penetapan status kewarganegaraan Indonesia untuk Jean Edouard Leopold Mutia AlbertBernier yang baru berumur lima tahun dua bulan didampingi ibunya, Dewi Chyntia, warga Negara indonesia. Jean merupakan anak dari perkawinan campur antara Bernier Pascal Louis Raymond Ghislain warga negara Belgia, dan Dewi Chyntia. Jean lahir di Belgia tanggal 1 Desember 2001. Dengan bekal paspor dari Belgia dan visa kunjungan sosial budaya, Jean dapat tinggal di Indonesia. Visa itu hanya berlaku 60 hari. Setelah itu harus diperpanjang di kantor imigrasi untuk periode tinggal satu bulan. Setelah lima tahun, masa berlaku paspor pun habis. Untuk memperpanjang paspor melalui KedutaanBesarBelgia di Jakarta diperlukan persetujuan atau surat dari Ghislain, ayah Jean. Persoalannya, Ghislain tidak menyetujui dan tidak memberikan surat, tanda tangan, atau apa pun namanya. Akibatnya, Jean akhirnya harus dideportasi.Bersama ibunya itu terjadi karena masih diberlakukannya Undang-Undang Nomor 62 Tahun1958 tentang Kewarganegaraan. Dengan undang-undang itu, anak dengan ayah warga negara asing otomatis menjadi warga negara asing. Wacana perubahan UU Kewarganegaraan yang pernah bergulir ibarat memberikan angin segar bagi Dewi, termasuk ibu-ibu yang menghadapi persoalan serupa. Dengan diberlakukannya UU No12/2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia. Syarat menjadi warga negara menurut UU No12/2006 yakni akta lahir anak yang harus dilegalisasi dan fotokopi paspor dari suami. Ketika sudah merasa tidak ada harapan lagi, dia pun menulis surat kepada Menteri Hamid Awaludin, mengungkapkan kesulitan yang dihadapinya. Hamid menanggapi, Ia mengeluarkan surat penetapan kewarganegaraan Indonesia untuk Jean. Sumber : http://nilaaamr.blogspot.com/2014/01/status-anak-perkawinan-campuran-antara.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar