Senin, 05 Mei 2014

Masalah TKI Di Malaysia

Masalah tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia merupakan masalah yang sangat kompleks, dengan banyak segi kepentingan yang berbenturan. Kalau disoroti dari segi satu saja, misalnya kepentingan Indonesia, maka tidak akan tercapai penyelesaian yang efektip. Segi kepentingan Malaysia juga harus diperhitungkan. Ditinjau dari analisa ekonomi maka bisa dilihat dua pasar tenaga kerja. Yang terbesar mencakup TKI Indonesia yang masuk Malaysia secara legal. Mengenai jumlahnya tidak ada angka yang tepat. Mungkin sekitar 1,5 juta orang. Pada umumnya di pasar ini tidak persoalan yang sengit. Pasar kedua adalah pasar TKI Indonesia yang “ilegal”. Jumlahnya tentu tidak ada kepastian, tetapi angka 600-800.000 sering disebut. Masalah yang mecuat (deportasi, perlakuan tidak manusiawi, eksploatasi, dsb-nya) ada di pasar ini. Pasar TKI ilegal ini cukup besar dan pasti ada permintaan (dari majikan Malaysia) dan penawaran (penduduk Indonesia yang miskin dan yang putus asa mencari pekerjaan di dalam negeri) yang mendukungnya. Menurut undang-undang di Malaysia majikan melanggar hukum kalau mempekerjakan TKI illegal, akan tetapi ancaman hukuman tidak diberlakukan secara tegas. Mengapa lalu Pemerintah Malaysia setiap tahun merazia dan mendeportasikan TKI Indonesia ini? Jalan yang mudah sebetulnya melegalisasi kedudukan mereka di tempat kerja di Malaysia. Rupanya Pemerintah Malaysia secara politis dalam negeri tidak dapat menempuh jalan ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tidak dapat memperoleh konsesi demikian, dan kita harus menerima realita ini. Akan tetapi, kedua Pemerintah setuju untuk membangun satu pasar saja dan kedua pemerintah berjanji akan menangkal terjadinya pasar gelap. Tetapi, implementasinya masih bisa diragukan. Selama Pemerintah Malaysia tidak bisa atau tidak mau bertindak keras terhadap majikan Malaysia yang mempekerjakan TKI Indonesia ilegal, maka pasti pasar gelap akan berjalan terus. Kemampuan Pemerintah Indonesia untuk membendung dan memagari penyelundupan TKI ini di tapal batas juga diragukan. Pemerintah Indonesia (dan Malaysia) sampai sekarang juga memandang pasar tenaga kerja TKI ini sebagai pasar biasa, seperti pasar barang yang bebas. Maka tumbuh suatu “industri” terdiri dari para calo, recruiters, dsb-nya, yang beroperasi secara bebas di Indonesia tanpa pengawasan banyak. Sebetulnya, Pemerintah RI harus memandang pasar TKI ini sebagai pasar yang sangat penting (meliputi jutaan TKI yang membawa pulang devisa ratusan juta dolar setahun) sehingga diperlengkapi dengan undang-undang serta kelembagaan, termasuk dukungan APBN, yang memadai. TKI bukan barang biasa dan perlu dilindungi. Seperti di Filipina. Filipina adalah negara yang lebih kecil daripada Indonesia akan tetapi jumlah TKInya sampai 7,5 juta, 8% dari jumlah penduduk, menghasilkan sekitar US$ 8 milyar remittances setahun. Maka Pemerintah Indonesia harus membangun infrastruktur yang memadai. Aparatur Depnaker harus sangat diperkuat dan anggaran belanjanya ditambah. Kita harus belajar dari Filpina. Semuanya ini memerlukan waktu. Maka jangan harapkan masalah TKI ilegal ini bisa diselesaikan tahun ini atau yang akan datang. TKI Indonesia yang illegal ini juga tidak punya ketrampilan, akan tetapi bisa dipekerjakan di perkebunan dan sektor bangunan. Untuk melarang TKI yang unskilled ini juga tidak manusiawi karena di dalam negeri tidak ada alternatip. Maka dalam jangka waktu satu-dua tahun Pemerintah RI hanya bisa melakukan tindakan tambal sulam. Misalnya, menyusun infrastruktur satu atap di sejumlah lokasi dekat tapal batas dengan Malaysia yang bisa memberikan TKI ilegal yang diusir itu dokumen-dokumen yang diperlukan untuk bisa kembali ke Malaysia. Tetapi ini memerlukan suatu infrastruktur di Malaysia untuk membantu mengurus perjanjian kerja dengan majikan. Semuanya ini memerlukan usaha serta penetapan urgensi pemerintah yang serius dan efektip. Modal pangkalnya sudah ada, yakni perhatian dan intervensi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri. Baru sekarang ada kepala negara Indonesia yang memberikan perhatian besar dan sense of urgency kepada penyelesaian masalah ini. Selama perioda pemerintahan Presiden SBY maka masalah TKI Indonesia hanya akan menjadi lebih besar karena ekonomi nasional belum dapat menyerap semua pengangguran baru dan lama. Setiap tahun angkatan kerja tambah dengan sekitar 2 juta dan kalau tiga perempat bisa dihisap oleh pasar tenaga kerja dalam negeri maka sudah bagus sekali. Seluruh TKI Indonesia sekitar 2-3 juta. Bandingkan dengan 7,5 juta di Filipina. Maka potensi ekspansi lapangan kerja ini masih ada bagi Indonesia. Asal semuanya dipersiapkan lebih efektip. Kalau pun ini memerlukan perhatian besar dari pemerintah dan anggaran belanja, maka semuanya masih cost-effective. Sumber : http://kolom.pacific.net.id/ind/prof_m._sadli/artikel_prof_m._sadli/masalah_tki_indonesia_di_malaysia.html

Kerukunan Antar Umat Beragama

Pameran foto kerukunan umat beragama Indonesia digelar untuk pertama kalinya di Parlemen Eropa. Sebanyak 31 foto karya fotografer Perancis Thierry Monasse dan fotografer Polandia Stanislaw Roman Konopka digelar selama lima hari berturut-turut dalam pameran foto bertajuk “Portrait of Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity)” di Parlemen Eropa mulai tanggal 10 hingga 14 Februari 2014. Foto-foto tersebut menceritakan keberagaman budaya dan agama di Indonesia serta kehidupan antar umat beragama di Indonesia yang diambil saat kunjungan dua fotografer tersebut ke Yogyakarta dan beberapa kota di Jawa Tengah, Bali, NTB, NTT dan Sulawesi Utara pada bulan November 2013 lalu. “Masyarakat Uni Eropa seyogyanya melihat Indonesia sebagai model bagi Uni Eropa dalam mengelola keberagaman” demikian Dr. Jan Olbrycht, MEP, anggota Parlemen Eropa dan Wakil Presiden dari Kelompok Politik terbesar di Parlemen Eropa yaitu European People’s Party (EPP) saat membuka pameran. Olbrycht mengatakan sebagai kelompok politik terbesar di Parlemen Eropa, EPP akan terus bekerjasama dengan Indonesia dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi, dan rasa saling menghargai dan memahami antar masyarakat Indonesia dan Uni Eropa. Lebih dari 200 tamu antara lain anggota Parlemen Eropa dari EPP, kelompok politik terbesar kedua di Parlemen Eropa S&D (Sosial Demokrat), perwakilan LSM, think-tank, media, dan berbagai institusi Uni Eropa dan korps diplomatik, hadir dalam acara tersebut. Duta Besar RI Arif Havas Oegroseno menyampaikan pameran yang baru pertama kalinya diadakan di Parlemen Eropa ini, diharapkan dapat membuka mata masyarakat UE mengenai kompleksitas kehidupan umat beragama di Indonesia, serta kekuatan yang dimiliki Indonesia dalam membangun kehidupan umat beragama yang toleran dan harmonis. Havas menegaskan Indonesia tidak akan pernah menutupi adanya masalah yang terjadi akhir-akhir ini, ditengah kehidupan demokratisasi di Indonesia. “Namun dengan nilai-nilai toleransi masyarakat Indonesia yang telah tertanam dalam jatidiri masyarakat Indonesia, Indonesia yakin dan percaya bahwa masalah yang dihadapi tidak akan menyeret Indonesia kedalam kehidupan yang tidak demokratis,” kata Havas. Thierry, fotografer yang cukup dikenal di Brussel karena hasil karyanya sering digunakan oleh berbagai institusi di Uni Eropa dan media cetak terkenal di Perancis dan Belgia, mengatakan kunjungannya ke Indonesia sangat mempengaruhi dirinya dalam melihat bagaimana seharusnya interaksi kehidupan antar umat beragama. Bahkan dalam lawatannya ke Yordania dan Tunisia, Thierry mengatakan Indonesia adalah negara yang patut dicontoh oleh Tunisia dan Yordania, dalam interaksinya dengan komunitas di negaranya. Foto-foto yang dipamerkan antara lain Mesjid Sunan Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus dengan arsitektur Hindu di kota Kudus, Jawa Tengah. Suasana mengajar di Pesantren Walisanga di kota Ende, dimana para murid pesantren tengah mendengarkan arahan guru mereka yang seorang Pendeta Katolik. Patung Yesus Kristus yang dicerminkan sebagai Raja dengan menggunakan pakaian adat Jawa di Gereja Jawa Katolik Ganjuran di Yogyakarta, serta bangunan peribadatan Sinagog bagi umat Yahudi di Sulawesi Utara. Ke-31 foto-foto ini rencananya akan dipamerkan selama tahun 2014 bekerjasama dengan berbagai institusi di Belgia dan Uni Eropa yang berkedudukan di Brussel. Pameran berikutnya direncanakan akan digelar di Brussels Press Club pada tanggal 24 hingga 28 Februari 2014, bekerjasama dengan ENAR (European Network Against Racism), sebuah LSM yang berupaya melawan diskriminasi dan rasisme di Eropa, khususnya yang menimpa masyarakat Muslim, Roma (Gypsi), Afrika, Yahudi, dan imigran pada umumnya di Eropa. http://www.tempo.co/read/news/2013/12/17/058538008/Kirab-dan-Barongsai-Meriahkan-Haul-Gus-Dur

Asas Kewarganegaraan dan Masalahnya

Negara memiliki wewenang untuk menentukan warga negara sesuai dengan asas yang dianut negara tersebut. Asas kewarganegaraan yang dianut oleh suatu negara merpakan prinsip yang menjadi pedoman dalam menentukan kewarganegaraan pada negara tersebut. Perbedaan asas tiap-tiap negara disebabkan karena perbedaan latar belakang negara, cita-cita masa depan, letak negara dan kondisi perkembangan yang ada. Adapun yang dimaksud dengan kewarganegaraan ialah keanggotaan seseorang dalam kontrol satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional. Asas kewarganegaraan Indonesia berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 dibagi menjadi 4, antara lain ; 1. Asas Ius Soli Asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran. Contoh : seseorang yang dilahirkan di negara A maka ia akan menjadi warga negara A walaupun orangtuanya adalah warga negara B (dianut Oleh Inggris, Mesir, dan Amerika) 2. Asas Ius Sanguinis Penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan atau pertalian darah. Artinya penentuan kewarganegaraan seseorang berdasarkan kewarganegaraan orang tuanya, bukan berdasarkan negara tempat tinggalnya. Contoh : seseorang yang dilahirkan di negara A tetapi orang tuanya adalah warga negara B maka orang tersebut tetap menjadi warga negara B (dianut oleh Cina) 3. Asas Kewarganegaraan Tunggal Asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Contoh : seseorang tidak boleh mempunyai status kewarganegaraan lain apabila ia tetap ingin berkewarganegaraan Indonesia. 4. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas Asas menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Undang-undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian. Namun ada suatu negara dalam menentukan kewarganegaraannya hanya menggunakan asas ius soli atau ius sanguinis saja, maka dapat mengakibatkan dua kemungkinan yang terjadi yaitu bipatride dan apatride. Contoh negara yang menerapkan asas ius soli adalah Amerika Serikat, sedangkan yang menerapkan asas ius sanguinis adalah Cina. Seorang warga negara Cina yang melahirkan anak di Amerika Serikat, menurut asas yang dianut oleh masing-masing negara tersebut memiliki dua kewarganegaraan yaitu warga negara Amerika Serikat dan warga negara Cina. Sebaliknya warga negara Amerika Serikat yang melahirkan seorang anak di Cina menurut asas tersebut tidak memiliki kewarganegaraan (apatride). 1.Masalah kewarganegaraan Karena penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda, hal ini dapat menimbulkan masalah kewarganegaraan, antara lain; 1. Apatride (tidak berkewarganegaraan) Dengan keadaan apatride ini mengakibatkan seseorang tidak akan mendapat perlindungan dari negara manapun juga. 2. Bipatride (berkewarganegaraan ganda) Dengan demikian mengakibatkan ketidakpastian status orang yang bersangkutan dan kerumitan administrasi tentang kewarganegaraan tersebut. 3. Multipatride (lebih dari 2 berkewarganegaraan) Maka dari itu permasalah diatas harus dihindarai dengan upaya-upaya sebagai berikut; 1. Memberikan kepastian hukum yang jelas akan status kewarganegaraannya. 2. Menjamin hak-hak perlindungan hukum yang pasti bagi seseorang dalam kehidupan bernegara. Sistem yang sering digunakan untuk menentukan status kewarganegaraan adalah; Stelsel aktif Seseorang akan menjadi warga negara suatu negara dengan melakukan tindakan-tindakan hkum tertentu secara aktif. Dalam stelsel ini seorang wraga negara memiliki hak opsi, yaitu hak untuk memilih suatu kewarganegaraan. Stelsel pasif Seseorang dengan sendirinya menjadi warga negara tanpa harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Dalam stelsel ini seorang warga negara memiliki hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak suatu kewarganegaraan. Penyelesaian masalah kewarganegaraan menurut salah satu keputusan KMB dipergunakan stelsel aktif dengan hak opsi untuk penduduk Indonesia keturunan Eropa. Dan stelsel pasif dengan hak repudiasi untuk keturunan Timur Asing. Sumber : http://mafajane.blogspot.com/2013/03/asas-kewarganegaraan.html

STATUS ANAK PERKAWINAN CAMPURAN ANTARA WNA DAN WNI

Perkawinan campuran sekarang ini sudah merambak kepada seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya kalangan selebritis atau kalangan tingkat atas saja, namun tenaga kerja Indonesia pun juga banyak yang melakukan perkawinan campuran dengan tenaga kerja negara lain. Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak. Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan UU Kewarganegaraan yang baru. Yaitu UU No.12 Tahun 2006. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar UU baru yang memperbolehkan dua kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran. Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing. 1.STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UU NO.62 TAHUN 1958 Status kewarganegaraan anak dalam perkawinan campuran menurut UU No.62 Tahun 1958 mengatur asas kewarganegaraan tunggal. Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana status kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 : “Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anaknya karena ayahnya memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarganegaraan”. Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya: 1) Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI) Berdasarkan Pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal (faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan. 2) Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI) Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan Pasal 7 UU No.62 Tahun 1958, apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa. Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor. Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun. Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga. 2.PERMASALAHAN KEWARGANEGARAAN Permasalahan kewarganegaraan yang muncul adalah adanya kemungkinan seseorang mempunyai kewarganegaraan ganda (bipatride), tanpa kewarganegaraan (apatride). 1. Kewarganegaraan Ganda (Bipatride) Bipatride terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya menganut asas ius sangunis lahir di negara lain yang menganut asas ius soli, maka kedua negara tersebut menganggap bahwa anak tersebut warga negaranya. Untuk mencegah bipatride, maka Undang-Undang No.62 Tahun 1958 Pasal 7 dinyatakan bahwa seorang perempuan asing yang kawin dengan laki-laki Warga Negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan melakukan pernyataan dengan syarat bahwa dia harus meninggalkan kewarganegaraan asalnya. Berdasarkan Undang-Undang, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi. Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur. Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. 2. Tanpa Kewarganegaraan (Apatride) Apatride terjadi apabila seorang anak yang negara orang tuanya menganut asas ius soli lahir di negara yang menganut ius sungunis. Untuk mencegah apatride, Undang-Undang Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958 Pasal 1 huruf f menyatakan bahwa anak yang lahir di wilayah Indonesia, selama orang tuanya tidak diketahui adalah Warga Negara Indonesia. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang. Dalam Pasal 4 UU No. 12 Tahun 2006, dijelaskan bahwa: “Warga Negara Indonesia” adalah : a) Setiap orang yang berdasarkan peraturan perUndang-Undangan dan atau berdasarkan perjanjian Pemerintah RI dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia. b) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia. c) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga Negara Asing. d) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing dan ibu Warga Negara Indonesia. e) Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut. f) Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia. g) Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia. h) Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagaianaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun saat belum kawin. i) Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya. j) Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui. k) Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya. l) Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan. m) Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraan dari ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Sedangkan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan mengenai orang asing, yaitu: “Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing” 3. CONTOH KASUS MENGENAI STATUS ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN Ketika anak akhirnya diakui oleh Negara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin memberikan surat penetapan status kewarganegaraan Indonesia untuk Jean Edouard Leopold Mutia AlbertBernier yang baru berumur lima tahun dua bulan didampingi ibunya, Dewi Chyntia, warga Negara indonesia. Jean merupakan anak dari perkawinan campur antara Bernier Pascal Louis Raymond Ghislain warga negara Belgia, dan Dewi Chyntia. Jean lahir di Belgia tanggal 1 Desember 2001. Dengan bekal paspor dari Belgia dan visa kunjungan sosial budaya, Jean dapat tinggal di Indonesia. Visa itu hanya berlaku 60 hari. Setelah itu harus diperpanjang di kantor imigrasi untuk periode tinggal satu bulan. Setelah lima tahun, masa berlaku paspor pun habis. Untuk memperpanjang paspor melalui KedutaanBesarBelgia di Jakarta diperlukan persetujuan atau surat dari Ghislain, ayah Jean. Persoalannya, Ghislain tidak menyetujui dan tidak memberikan surat, tanda tangan, atau apa pun namanya. Akibatnya, Jean akhirnya harus dideportasi.Bersama ibunya itu terjadi karena masih diberlakukannya Undang-Undang Nomor 62 Tahun1958 tentang Kewarganegaraan. Dengan undang-undang itu, anak dengan ayah warga negara asing otomatis menjadi warga negara asing. Wacana perubahan UU Kewarganegaraan yang pernah bergulir ibarat memberikan angin segar bagi Dewi, termasuk ibu-ibu yang menghadapi persoalan serupa. Dengan diberlakukannya UU No12/2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia. Syarat menjadi warga negara menurut UU No12/2006 yakni akta lahir anak yang harus dilegalisasi dan fotokopi paspor dari suami. Ketika sudah merasa tidak ada harapan lagi, dia pun menulis surat kepada Menteri Hamid Awaludin, mengungkapkan kesulitan yang dihadapinya. Hamid menanggapi, Ia mengeluarkan surat penetapan kewarganegaraan Indonesia untuk Jean. Sumber : http://nilaaamr.blogspot.com/2014/01/status-anak-perkawinan-campuran-antara.html

Jumat, 02 Mei 2014

2 Tahun bersamanya :)

Hari ini, 2 mei, tanggal jadiku sama dia (mantanku). Itu mengapa kuputuskan untuk menulis di blog ini, berbagi cerita dengan kalian semua :D.

2012, tahun ke dua aku bersama nya, Restu.
Bukan waktu yang singkat kalo ngeliat jalan yang kita lalui bareng. dimulai saat kita masih mengenakan pakaian putih-abu-abu, kita juga pernah putus dan memutuskan untuk kembali bersama. Bukan juga waktu yang lama, karena tiap waktu, tiap moment, tiap menit dan detik yang aku lewatin sama dia, gak pernah aku sesalin, bahkan selalu terasa kurang :P :D.
Dia itu, seseorang yang dengan gampang bisa bikin aku nyaman di sampingnya. Bukan tipe orang  yang suka menuliskan kata-kata manis untuk pacarnya. Perhatian?? Ahh biasa aja kok. Tidak, dia bukan tipe seperti itu. Aku tau, kalian pasti sedang memicingkan mata sekarang. Lalu, yang membuatku bertahan hingga sejauh ini apa dong?

Ya, dia membuatku nyaman dan bahagia. Di dekat dia, segala sesuatu terasa menyenangkan. Aku selalu ingat percakapan dengannya di mobil, mall, rumahnya, rumahku, di semua tempat, selalu saja, tak pernah tidak, ada saja, perkataannya maupun tingkahnya yang membuatku tertawa. Selalu teringat bagaimana dia bernyanyi (percayalah, suaranya tidak merdu) dengan bangganya dan aku pun tertawa kembali. Ya, dia seseorang yang menyenangkan.
Dia memang tidak begitu  perhatian, maksudku, dia bukan tipe lelaki yang dengan mudahnya menunjukkan itu. Tapi, smsnya tiap malamlah yang selalu kutunggu, sms yang isinya selalu sama, sms sebelum tidur, sesuatu yang selalu menjadi pemanis hariku, sesuatu yang membuatku cukup tenang untuk kembali ke peraduan malamku (kasur). Dia bukan seseorang yang terus-terusan menanyakan kabarku, tapi dia akan sangat cemas bila aku tak memberinya kabar, dan orang yang sangat marah kalo aku melupakan waktu makanku karena berbagai kegiatanku yang cukup menyita waktuku. (Sok sibuk ya) :D. Dia juga seseorang yang suka mendaratkan kecupan manis di keningku tiap akhir pertemuan ku denganny :D.
Yang satu ini, cukup benar. Dia tidak protektif, bahkan dia membebaskanku bergaul dengan siapapun, apapun gendernya. Berbeda denganku, terkadang aku masih suka meng “interogasi” nya, seperti dengan siapa dia berteman atau sekedar chatting. Aku bahkan pernah marah hanya karena ia memberi komentar pada foto teman wanitanya. Pernah dia mengatakan kalo dia gak punya hak untuk ngelarang aku main sama siapapun, suka sama siapapun. Aku menangis seketika membaca kata-kata itu. Karena saat itu, posisinya adalah dia sedang istirahat total di rumahnya, sehabis menjalani operasi usus buntunya, dan aku justru menghabiskan waktu bersama teman pria yang baru saja kukenal :(, gak cuma sekali, tapi beberapa kali, dan bahkan aku menyukainya. aku jahat ya? :(, walaupun aku senang berada di sisi orang itu, yang baru kukenal itu, tapi ada perasaan bersalah, meskipun pada dasarnya, sang pacar mengizinkanku bertemu dengannya, menghabiskan waktu dengannya, aku tak tenang, gelisah, galau. Akhirnya, aku memberitahu pacarku tentang rasa sukaku pada orang itu, dia bertanya apa alasannya, dan aku pun membeberkannya, tentag sifat orang itu yang berbeda dengannya,  dia tak marah, tidak, dia bahkan menanyakan “apakah aku harus merubah sikapku padamu?” Dia ,berhasil, membuatku menangis lagi :'(.
Dia tidak pernah mau menulis kata-kata gombal di smsnya, kalaupun kalian menemukannya, kalian akan menemukan itu di inbox hpnya, bukan inbox hpku, yang berarti, ya, aku yang mengirimkannya kata-kata gombal :P  :D. Tapi, kadang, siapa sangka orang sepertinya dapat memberiku bunga di saat ulangtahunku? Siapa sangka dia selalu mengingatku saat dia berlibur dengan keluarganya (terbukti dengan melimpahruah nya hadiah yang ia berikan sepulang dari liburnya), siapa sangka dia membelikanku cokelat yang begitu cantik, sehingga sayang untuk dimakan? Siapa sangka, dia rela menemaniku berjam-jam di toko sepatu hanya untuk membantuku memilih sepatu yang cocok untukku (mengapa sepatu? karena kakiku sangat panjang dan lebar :D sehingga kadang sulit untuk mencari ukuran yang pas) atau menemaniku memilih baju yang pas, hingga menunggu di luar kamar pas dan mengatakan baju yang kukenakan itu cocok atau tidak cocok? Ya, dia memang tak seperhatian yang lain, tapi dia memberikan perhatian itu di waktu tertentu, dia tahu bagaimana membuat tiap perhatian itu spesial, bukan sesuatu yang perlu diumbar ke muka umum ataupun dipamerkan, itulah dia.
Satu faktor lain, yang membuatku bertahan, keluarga nya. Meskipun, aku baru beberapa kali bertemu keluarganya, percayalah, mereka semua punya karakter masing-masing yang begitu hangat menyambutku. Yang menerimaku apa adanya, meskipun aku ini tak cukup baik menjadi seorang wanita, ya,aku tak cukup pandai dalam memasak, satu yang bisa kubanggakan adalah aku suka bersih-bersih. Terima kasih untuk kalian, kalian telah sangat baik padaku.
Juga teruntuk kalian, sahabatku di kala sma, yang membantu aku bertahan hingga waktu 2 tahun, terima kasih atas doa, support, semangatnya.
Untuk teman-teman ku, sahabat2ku, terimakasih telah memberiku semangat selalu, yang mengajariku, yang mendoakanku untuk hubungan ku selama 2 tahun itu.
Teruntuk dia (udah jadi mantan ya) seseorang yang selama 2 tahun berhasil menemaniku, yang tahan dengan segala tingkah laku kekanak2an-ku ataupun tingkah lakuku yang menyebalkan, yang tahan dengan segala omelanku dan pertanyaanku. Yang tahan denga sikap egois dan keras kepalaku.

Restu, Terima kasih Banyak.

Just Pray :)

pernah bingung saat harus ambil keputusan? pernah ada di posisi yang serba salah? pernah punya masalah tapi nggak tau harus cerita ke siapa?

Di Suatu Waktu

memilih itu ngga enak.

takut salah
takut sakit
takut ada yang terluka
takut kalo apa yang dipilih nggak sesuai dengan harapan
takut nggak bisa bahagia'in orang lain dengan pilihan itu
takut dicemooh
takut pilihan gue nggak rasional
takut... takut... takut...

gue paling nggak suka disuruh memilih, mengambil keputusan, menentukan satu di antara setidaknya dua pilihan dan itu yang harus gue jalani. bukan sekarang, tapi akan terjadi nanti, di suatu waktu yang udah ditentukan, di suatu waktu yang udah gue yakini bahwa gue udah siap memilih, di suatu waktu yang mau nggak mau gue harus pilih, di suatu waktu yang gue harap hati gue bisa tunjukkin pilihan apa yang harus gue ambil, di suatu waktu yang mungkin akan merubah atau tetap membiarkan gue di kondisi ini.

di suatu waktu itu...
entah apa yang akan terjadi. entah gue bisa ngelawan semua ketakutan gue atau nggak. tapi satu hal yang gue percaya, ALLAH mau gue bahagia :).